BAPAK
By. Shima Koerilma
Waktu cepat berlalu, sepuluh tahun aku
pergi merantau meninggalkan rumah nenek penuh kenangan masa kecil. Hari ini ada
kesempatan menjenguk dan mengingat masa-masa kecil, meskipun tidak berpenghuni
perabotan tampak bersih. Aku dengar dari tetangga bahwa tidak ada yang berani
menempati, padahal siapa aja boleh menempati yang penting di rawat.
Mungkin karena berukuran besar dan lama
dibiarkan kosong, bahkan banyak sekali peninggalan barang antik sehingga
semakin terkesan seram. Saat membuka pintu ruang tamu depan tangan bergidik,
pancaran aura sangat berbeda saat masih berpenghuni. Jam kuno berdiri di
pojokan ruang tamu, bandul yang biasa bergerak ke kanan dan ke kiri tidak
jalan.
Perlahan aku melangkah ke kamar bapak berdampingan
dengan ruang tamu karena saat itu bapak sering pulang malam sehingga biar tidak
mengganggu akhirnya menempati kamar depan. Warna cat dinding masih sama biru
laut, dan tempat tidur juga masih sama tidak ada perubahan.
“Sabuk ? tenyata sabuk bapak masih pada
tempat terakhir aku tinggalkan rumah ini.” Ucapku lirih sambil melangkah
mendekati sabuk yang tergeletak di atas meja kecil dekat tempat tidur bapak.
Aku pejamkan kedua mata, lalu membuka
kembali kenangan malam itu.
“Brakkk….! Tiinn…Titin…kamu di mana? Cepat
kesini..!” Suara pintu ruang tamu depan dibanting dan bersamaan suara bapak
memanggil namaku.
“Pasti bapak pulang keadaan mabuk berat
lagi.” Batinku, aku beranjak dari tempat tidur, lalu mengambil jaket yang
bergelantung di belakang pintu.
Saat sampai ruang tamu, aku lihat bapak
baru saja menghempaskan badannya di sofa, lalu tangan kanan sudah memegang
sabuk kulit biasa dipakai setiap hari. Pakaiannya kusut dan menebar bau kas
minuman keras, meskipun rambut berantakan dan wajah kucel tidak mengurangi paras tampan bapak yang masih
keturunan Belanda.
“Sini, nduk Tin.” Panggil bapak saat
melihat aku sudah di depan pintu.
Dengan siaga aku mendekat pada bapak, “Dalem
pak.” Jawabku dengan santun.
Bapak terdiam dengan kepala menunduk,
entah karena pusing pengaruh minuman keras atau sedang mengingat apa yang akan
di utarakan padaku. Memang sudah menjadi kebiasaan bapak setiap pulang dalam
keadaan mabuk selalu membangunkan aku, tidak peduli jam berapapun. Cuma yang
membuat shok adalah topik dari tujuan membangunkan aku itu kadang membuat
pikiran bingung.
“Hari ini kamu bikin ulah apa lagi pada
tetangga… dasar anak kurang ajar..!” teriak bapak sambil mengayunkan sabuknya
pada badanku, tetapi langsung aku tangkap ujung sabuk hampir melukai badanku.
“Bapaaakk cukuppp…!” teriakku menatap
wajah bapak sambil kedua tanganku terus memegang ujung sabuk.
“Bapak… aku adalah anak bapak
satu-satunya, dan entah berapa kali sabuk ini melukai badanku. setiap bapak marah
selalu sabuk dijadikan senjata, kalau bapak berani ayuk kita berkelahi fisik dengan
tangan kosong, dengan syarat bapak dalam keadaan tidak mabuk.” Ujarku penuh
emosi dan marah.
“Apaa…? Kamu dasar anak kecil
berani-beraninya menantang bapak kamu, kalau sudah besar mau jadi apa?” teriak
bapak penuh marah.
“Pak… bukan Titin menantang, tetapi bapak
yang mengajarkan Titin untuk berani membela diri apabila tidak melakukan
kesalahan, dan harus berani pada siapapun asal benar. Apakah bapak lupa?”
bantahku pada bapak karena sudah sangat emosi.
“Titin capek, pak. Memang hari ini Titin
ada kesalahan menebas semua daun pohon keres Pak Bambang, tetapi karena Titin
capek di ejek Pak Bambang terus gara-gara Titin anak tanpa ibu dan bapak
pemabuk, tolong bapak mengerti Titin
juga malu.”
Tiba-tiba mata bapak berkaca-kaca, ini
pertama kali aku melihat mata bapak mau menangis. Tetapi tidak membuatku luluh
aku tetap siaga, aku sudah capek dengan sikap bapak tidak jelas setiap pulang
malam dalam keadaan mabuk, malu dan beban yang sangat dalam. Bapak suka
teriak-teriak memanggil namaku tiap malam, membuat aku minder untuk berteman
dengan seusiaku.
Tiba-tiba bapak menjatuhkan kepala sabuk
di tanah. Lalu menangis tersedu-sedu dengan kedua tangan menutup wajahnya. Akupun
tanpa sadar air mata mulai membuat genangan di pipi lalu melempar ujung sabuk
di lantai, lalu aku mendekat pada bapak. Di usia tujuh belas tahun aku tidak
pernah merasakan kumpul dengan teman seusia bermain atau jalan-jalan. Masa
remajaku terampas habis oleh takdir yang menjerat entah sampai kapan.
“Sini nduk Tin…?” panggil bapak sambil
membuka kedua tangannya lebar-lebar supaya aku jatuh dalam pelukannya.
Dengan reflek aku menghambur dalam pelukan
bapak,”Maafkan Titin, Pak. Titin bukan
menantang bapak berkelahi, tetapi sampai kapan bapak perlakukan Titin seperti
anak kecil, aku sudah kelas dua STM bukan anak SD lagi, Pak.”
“Besok kamu harus pergi dari rumah ini,
kamu tinggal di rumah mami Sriana, sabuk bapak sudah bosan.” Ujar bapak sambil
melepas pelukan aku dan melempar sabuk keluar pintu.
“Drama apa lagi ini bapak? Aduh jangan
membuat cerita ketoprak, Titin tidak paham.” Celotehku sambil garuk-garuk
kepala tidak gatal.
Aku masih belum menangkap ucapan bapak
baru saja, banyak pertanyan yang ingin aku sampaikan, tetapi mulut terasa kaku.
Bapak telah mengusir aku dari rumah, atau memang aku bukan anak kandungnya atau
mungkin bapak mau menikah lagi dan calon istrinya tidak mau aku serumah
dengannya atau dan atau…masih banyak pertanyan diam dalam pikiran.
“Maksud bapak apa? Kenapa aku harus
tinggal di rumah mami Sriana sahabat bapak itu? Apakah ….
“Cukup! Jangan berprasangka buruk pada
bapak dulu.” Kata bapak memotong pertanyan aku.
Aku melihat bapak sedang mengatur nafas
dan mungkin juga sedang memilih kalimat
tepat untuk di sampaikan padaku. Tampak sekali dari raut wajahnya begitu
tegang dan serius. Ini pertama kali bapak dalam keadaan mabuk mengajak bicara
serius, kalau sebelumnya selalu marah dan marah.
“Apakah bapak sudah tidak sayang dengan
Titin, sehingga menyuruh Titin tinggal di Mami Sriana. Atau bapak sudah bosan
marah-marah tiap malam pada Titin?” tanyaku pada bapak dengan deraian air mata.
“Nduk, entah sabuk ini sudah berapa kali
melukai badan kamu, bapak ingin kamu bisa merasakan bagaimana sakitnya di
lukai, sehingga saat besar nanti jangan suka melukai orang lain. Entah sabuk
ini berapa kali melukai kaki kamu, supaya kamu kuat melangkah mengejar impian
sejauh kekuatan kaki kamu, dan entah berapa kali sabuk ini melukai tangan kamu,
supaya kamu kuat bekerja menanggung hidup kamu sendiri, jangan menggantungkan
diri pada siapapun, tapi angkat tanganmu untuk meminta pada Tuhanmu.”
Aku langsung memeluk bapak dengan erat,
semua yang bapak lakukan mempunya
tujuan. “Pak, lalu kenapa bapak sekarang mengusirku dari rumah.” Tanyaku dengan
berlinang air mata.
“Nduk, jangan begitu bukannya rumah Mami
Sriana hanya dekat terminal baru Madiun, sewaktu-waktu kamu kangen bapak bisa
pulang sini lagi. Bapak ingin kamu belajar sama Mami Sriana, nanti Mami Sriana
akan memberi tahu kamu, ini permintaan bapak terakhir pada kamu.” Kata bapak
seakan mau pergi jauh.
“Maksud bapak apa? Permintaan terakhir,
bagaimana, Titin tidak paham, Pak?”
Bapak menarik nafas berat, lalu di
hembuskan pelan-pelan. Tangan bapak membelai rambukku lalu memegang kedua
tanganku.
“Tin,
sejak kecil kamu sudah bapak ajarkan hidup mandiri, bela diri untuk melindungi
diri kamu sendiri, jangan pernah putus asa menjalani hidup, jangan malu untuk
bekerja apapun terpenting halal, tetap mencari ilmu di sekitar kamu, dan kamu
semakin besar, cobaan hidup semakin besar pula, kamu suatu hari nanti akan
mengerti maksud bapak, Nduk.”
“Pak
lalu …
“Sudah
malam, segera kemasi baju kamu, besok sepulang sekolah langsung ke rumah makan
Mami Sriana.
“Ah,
kisah yang mengharu biru, dan itu malam terakhir aku mendengar teriakan bapak
memanggil namaku saat tengah malam, ada rasa rindu suara-suara itu.” Batinku.
Tiba-tiba
mataku tertuju pada rantang terbuat dari besi monel yang bagus, masih sama warnanya
perak mengkilap, rantang itu yang di gunakan tempat makan siangku dan disuapin di atas pohon mangga. Dan
rantang itu pula di gunakan tempat makanan kesukaan aku kalau kita mancing ikan
di bengawan.
Tetangga tidak heran apabila melihat aku
di kejar bapak sambil bawa sabuk, kadang kita saling bertengkar mulut saling
saut-sautan, tetapi tidak berapa lama bapak menyuapin aku di teras rumah,
sehingga tetangga yang melihat kita hanya geleng-geleng kepala saja.
Pernah ada kejadian lucu, justru menjadi
hiburan para tetangga, terutama ibu-ibu yang suka mencuri pandang wajah tampan
bapak.
Kejadiannya adalah sepulang dari sekolah.
“Tin, kamu di mana? Dasar anak kurang
ajar, pulang sekolah asal lempar tas, dan minggat lagi tetap memakai seragam
sekolah.” Umpat bapak sambil membawa makanan mondar mandir di teras rumah.
“Iya Pak! aku di atas pohon mangga, tadi aku
melihat ada mangga bekas codot, Pak !” teriakku saat mendengar umpatan bapak.
“Sini lempar ke bawah, kasih bapak.” jawab
bapak karena mangga bekas codot adalah kesukaan bapak, selain enak dan manis.
“Ngak mau, yang melihat duluan kan aku
pak, kenapa tak kasih ke bapak, kalau mau ya naik sendiri.” Jawabku cuek sambil
menikmati mangga.
Aku tidak melihat bapak di bawah pohon,
mungkin bapak marah. Memanjat pohon adalah salah satu kegemaranku sejak kecil,
meskipun aku perempuan. Begitu juga berkelahi adalah salah satu kegemaranku,
karena aku suka bermain dengan anak laki-laki sejak kecil.
Tiba-tiba aku di kagetkan suara orang naik
pohon mangga, “Bapak…!” teriakku saat melihat bapak sudah di atas pohon tepat
di bawahku.
“Sini mendekat pada bapak, aku suapin
dasar anak wedok suka panjat pohon.” Ujar bapak sambil mengambil rantang
dari dalam tas.
Siang itu kita bercanda di atas pohon
mangga sambil makan mangga sisa dari codot, saat asyik bapak bercerita
tiba-tiba perutku sakit, segera aku pamit sama bapak turun untuk ke kamar
mandi.” Pak aku turun dulu sakit perut nih, tanggung.” Ucapku sambil melangkah
turun ke bawah.
Sesampai di bawah, aku segera lari ke
kamar mandi, meluapkan semua tanpa tersisa. Setelah itu langsung ganti baju dan
keluar rumah main ke rumah tetangga, dan tidak kepikiran apakah bapak sudah
turun atau belum.
Sekitar satu jam bermain di rumah
tetangga, tiba-tiba di kagetkan orang-orang berlarian ke rumahku, langsung aku
lempar mainan yang ada di tangan ikut lari menuju rumah tepat di bawah pohon
orang-orang pada berkerumun sambil menatap atas pohon mangga.
“Siapa kamu yang di atas pohon mangga,
teriak-teriak minta tolong!” teriak Pak Karto tetangga sebelah.
“Aku bapak e Titin. Tin, kamu di mana? Dasar bocah bandel, awas
bapak sampluk lagi.!” Umpat bapak.
“Lha bapak ngapain masih di atas pohon
mangga? Kenapa tidak turun?” teriaku sambil tertawa kepingkal-pingkal.
“Oalahhh, dasar kurang ajar, bapak nyusul
naik cuma mau nyapin kamu, ternyata bapak tidak berani turun ini bagaimana?”
Seketika orang di bawah pohon tertawa,
lalu langsung aku lari mengambil tangga untuk bapak di bantu oleh Pak Karto.
“Olah Mas Su, kalau tidak berani turun
kenapa juga naik pohon mangga.” Kata Pak Karto pada bapak.
“Ya itu dasar Titin anak wedok betik,
suka naik-naik pohon mangga.” Penjelasan bapak sambil turun dari pohon mangga
melalui tangga.
Kenangan lucu hingga kini tetap terkenang,
karena begitu besar cinta bapak padaku sehingga mengorbankan dirinya sendiri
demi perut anaknya jangan sampai kelaparan, memang sangat sepele tetapi sungguh
besar maknanya.
Pelan-pelan aku melangkah keluar dari
kamar, tetapi berhenti kembali saat melihat tumpukan selimut, dan di antara
selimut itu terlihat jarik paranganom, jarik untuk menutup tubuh bapak saat
terakhir kalinya. Dengan tangan gemetar aku ambil jarik itu, lalu aku peluk
erat, tangispun pecah, teringat masa di tinggal bapak.
Saat itu, aku masih di bangku sekolah STM
kelas dua, dan sesuai perintah bapak untuk tinggal di rumah Mami Sriana untuk
membantu di restaurant belajar bagaimana mengelola restaurant dan latihan
kerja.
Hari kamis pagi jam pelajaran olah raga,
teman satu kelas bernama Yayuk mengajak aku menjenguk bapak, aku menolak karena
hari rabu baru saja bertemu di terminal. Yayuk satu-satunya teman yang tahu
kehidupan pribadiku dan dia juga dianggap anak oleh bapak.
Kita bertemu saat pendaftaran
sekolah STM, sejak itu kita sering berangkat bareng, dan Yayuk sering
mengampiri ke rumah lebih dahulu, karena rumah Yayuk apabila berangkat sekolah
bisa melewati jalan rumah. Dan kita sepakat menjadi sahabat sejati, susah
bersama bahagia sendiri-sendiri hehehe ( tidak dong, susah bahagia kita bersama
)
“Tin, yakin kamu tidak ikut aku menjenguk bapak?” tanya
Yayuk bertanya sekali lagi padaku.
“Ngak Yuk. Sebab hari rabu sudah bertemu
di terminal, tetapi bapak sore itu sedikit aneh, masak tidak mengenal aku sama
sekali saat aku sapa.”
“Maksud kamu bagaimana? Aku kurang paham,
coba jelaskan detail.”
“Haduuuhh kamu tetap aja tulalit sih, Yuk.
Pokoknya sore itu aku melihat bapak di terminal menunggu angkutan kota yang
menuju pasar sleko, saat aku datangi dan aku sapa, dia tidak mengenal aku sama
sekali, lalu wajahnya itu putih pucat, mungkin habis tanggapan ketoprak
lalu kurang bersih saat cuci muka.”
“Lalu bagaimana?”
“Sebentar, yang sabar, yah aku bawa masuk
di restuaran dulu, tetapi saat itu Mami Sriana tidur, tentunya aku jelaskan
dulu kalau aku ini Titin, baru bapak mau masuk restuaran, dan tiba-tiba minta
soto tetapi aku yang meraciknya untuk terakhir kali, pikirku mau keluar kota
lama.”
“Priiiittttt!” Suara peluit dari arah Pak
Juwari guru olah raga kami.
Pelajaran olah raga selesai, kami kembali
ke sekolah untuk melanjutkan Pelajaran sekolah, seperti niat semula Yayuk
sendiri menjenguk bapak dan aku harus ke restaurant membantu Mami Sriana hingga
sore mendekati magrib restaurant tutup.
Seperti biasa sepulang dari restaurant aku
mandi lalu belajar hingga mendekati isya. Tiba-tiba bunyi telepon rumah
berdering.
“Assallamualikum!” suara di seberang
seorang laki-laki.
“Waalaikumsalam, maaf ini siapa dan
mencari siapa?” tanyaku.
“Mencari Titin ada? Ini aku Pak Tomo
paleknya Titin.
“Aku Titin Pak Tomo, ada apa?” tanyaku
pada Pak Tomo adalah adik kandung bapak.
“Tin, cepat pulang ke Citarum sebentar, ada sesuatu yang harus di
bicarakan dengan kamu, sangat penting malam ini juga.” Jawab Pak Tomo.
“Baik Pak Tomo, aku pamit Mami Sriana
dulu, lalu segera pulang rumah Citarum.” Jawabku lalu menutup telepon.
Setelah ijin dengan Mami Sriana, aku
mengambil sepeda vederal laki-laki berwarna biru. Sepeda itu di belikan bapak
saat ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun, meskipun di belikan bekas tetapi
aku sangat bahagia, meskipun bapak suka keras mendidik aku tetapi sangat
sayang.
Rumah jalan Citarum adalah rumah nenek
dari bapak, kalau dari rumah Mami Sriana hanya aku tempuh setengah jam dengan
kecepatan sedang mengayuh sepeda. Tentunya aku akan melewati jalan nerobos
kampung supaya cepat sampai.
Tepat masuki gang Citarum jarak 100 meter
sudah tampak pohon mangga gadung milik nenek yang biasa aku panjat. Tiba-tiba
dada berdebar kencang, karena teras rumah lampu terang benderang, banyak kursi
yang biasa untuk orang duduk saat takjiah, bendera putih pertanda ada anggota
keluarga yang meninggal
Mendekati pohon mangga, aku langsung
jatuhkan sepeda sembarangan, dan lari secepatnya menuju teras rumah tepat depan
pintu, pelan-pelan aku melangkah masuk ruang tamu pertama, tepat di ruang tamu
dalam terbujur mayat tertutup jarik paranganom, dan sebelah pintu tepat depan
kamar nenek aku melihat kursi roda dan kaki nenek.
“Bapakkkk!” Teriakku kencang, setelah aku
melihat kaki nenek di kursi roda, dan di sampingnya Paklek Harun yang pagi
kecelakaan sepeda motor tampak sehat.
“Bapaakkk jangan tinggalkan Titin
sendirian, Titin dengan siapa, Pak!”
“Brruukkkk!” tubuhku lemas dan jatuh
pingsan.
Itulah kisah kenangan jarik paranganom,
hingga kini apabila melihat pasti air mata tidak akan terbendung lagi. Banyak
barang yang menjadi kenangan antara bapak dan anak, hingga kini hati masih
terasa belum iklas. Meskipun bapak adalah seorang pemabuk, tetapi banyak yang
mencintai kebaikannya dan ketulusannya membantu teman.
Dan bapaklah yang mengajari aku cara
memakai softek, bagiamana menggunakan BH dan tiap malam selalu mendongeng
supaya aku cepat tidur, bahkan saat aku setengah tahun sakit panas, sembuh lalu
panas lagi bapaklah setia menemani aku.
Semua perkataan bapak benar, semakin aku
dewasa, kehidupan ini semakin besar tantangannya, semakin tua dunia semakin
keras kehidupannya. “Ah…bapak aku kangen semua apa yang sudah kamu lakukan
padaku, hanya doa terindah selalu untukmu bapak.”
Tidak ada komentar