By. Shima Lee
Suara sirene terdengar dari jauh mulai merapat mendekat building, Aku hiraukan,
telinga sudah kebal, hampir setiap hari, setiap jam terdengar suara sirene mobil atau motor
polisi. Tepat di bawah building adalah jalan raya tidak jauh dari lampu merah. Waktu sudah
menunjukkan pukul sepuluh pagi. Dengan tangan lincah sayuran baru aku beli kubersihkan
lalu masuk kulkas. Dari jendela lantai 12 aku lihat sepeda motor polisi berhenti di bawah
building, lalu dua polisi turun dari motor menuju lantai bawah.
*****
“Nastiii… babu goblok…! Sini kamu, cepat..!” maki Akong setelah terima telepon,
entah telepon dari mana, cacian itu lagu lama, selalu menggema setelah buka mata.
Aku lempar roti polopau belum sempat masuk mulut,“Em sai kem tai sing, ngo deng
to, akong.” Jawabku tentu dengan suara lebih lantang, karena telinga akong sedikit masalah.
“Cepat keluar sana, terserah kamu mau pergi kemana, jangan pulang kalau belum aku
telepon, mengerti babu goblok!” perintahnya sambil berkacap pinggang.
“Damput tenan, kok!” umpatku, lalu nyambar tas belel dan roti di atas meja dapur lalu
keluar begitu saja, tentu dengan mulut manyun.
Dadaku rasanya nyesek kerja jaga akong saja bikin stress, memang tidak banyak
kerjaan, rumah ukuran 600 dengan waktu dua jam pasti kinclong, apalagi tidak banyak
perabotan. Tetapi mental harus super dobel, belum lagi caci maki si akong bagai lagu dangdut
tiap hari menggema.
“Ahh… seandainya aku tidak nikah dengan Wawan pilihan ibuku nasibku tidak akan
begini.” Keluhku meratapi penyesalan, aku duduk di taman di bawah building sambil
menikmati sarapan tertunda.
Malam itu, sepulang dari kerja, aku melihat ibu duduk termenung di ruang tamu,
sepertinya habis ada tamu, tampak di meja ada empat set cangkir biasa untuk menjamu tamu.
Toples kue kering biasanya di meja makan pindah nangkring di meja ruang tamu. Tapi wajah
ibu tampak murung. “Sepertinya ada masalah dengan tamu baru datang itu,” gumamku.
“Ada apa bu, kenapa wajah ibu tampak mendung, apa ada orang nagih utang?”
tanyaku lalu aku jatuhkan pantat di samping ibu.
Ibu menatapku dengan pandangan cemas, takut dan ragu. Pasti ada hal penting yang
mau di utarakan, pasti menyangkut diriku. “Ngomong saja bu, tidak usah ragu, pasti aku
dengarkan.” Ucapku lalu aku comot kue nastar di dalam toples.
“Begini lho, nduk. Tadi ada Pak de Karto, kamu masih ingat kan, dulu waktu kamu
masih kecil sering datang ke rumah lalu pergi mancing dengan almarhum ayahmu, tadi
sekeluarga datang kesini.” Penjelasan ibu dengan tampak cemas.
“Ya bagus dong bu, hubungan lama tidak terjalin kini nyambung lagi, lalu kenapa ibu
tambah murung, harusnya Bahagia,” ucapkku pangjang lebar.
“Begini lho Naasti….
“Pada intinya Pak de Karto datang ke sini untuk melamar kamu menikah dengan
Wawan, kamu tahu kan Wawan yang kerja pelayaran itu.” Teriak mas Kamto dari dalam
kamarnya.
Dadaku terasa sesak, urat nadi seakan berhenti, begitu juga nastar baru masuk mulut
langsung saja aku telan,”Uhukk….uhukk….!” tiba-tiba aku kesedak kue nastar.
“Air…..! Kamto ambilkan air putihhh….!” Teriak ibu sambil tangannya menepuk
nepuk pundakku.
“Cepat minum !” perintah Mas Kamto menyodorkan segelas air putih, tanpa
menunggu, aku meraih gelas itu ku habiskan, lalu lari masuk kamarku tanpa sepatah kata.
“Brakkkk..!” suara pintu aku banting.
Hatiku hancur, kenapa selalu aku harus mengalah, apakah karena aku anak
perempuan sehingga harus mengalah pada Mas Kamto dan adikku Adit. Aku hanya sekolah
sampai lulus SMEA, sedangkan Mas Kamto sampai kuliah, meski tidak aku pungkiri dia
selalu mendapatkan nilai bagus, bahkan sekarang sudah bisa magang di Perusahaan swasta
sambil kuliah.
Apa bedanya perempuan dan laki-laki, harusnya punya kedudukan sama untuk
masalah karier, aku susah payah bekerja mengumpulkan uang, suapaya tahun depan bisa
daftar kuliah gagal, karena masa depanku tergadaikan oleh penjodohan yang tidak aku
kehendaki, apalagi tanpa dasar cinta.
Perasaan hancur, mulut ingin teriak, tetapi tenggorokan seakan tercekit oleh keadaan
rasa tidak tega menolak, apalagi aku paling tidak sanggup melihat air mata seorang ibu. Aku
sangat hormat pada ibu, aku paling takut ibu menangis.
“Tok…tok…! Nasti.. nduk…? Dengarkan ibu bicara dulu, Wawan anak baik dan
sudah mapan, kerjanya juga pelayaran gaji besar, rumah sudah siap, kamu di ijinkan kuliah,
tanpa harus bekerja.” Penjelasan Ibu dari balik pintu.
“Ibu…tolong tinggalkan aku sendiri, besok bicara lagi, aku capek bu, maafkan aku
bu.” Mintaku dari balik pintu.
Aku jatuhkan raga lelahku di atas kasur, aku tumpahkan tangis perihku, hingga
genangan air mata sudah beranak pinak membasahi bantal. Nasibku kurang beruntung jadi
anak perempuan di keluarga ini, merasa di rampas hak-hakku, masa depanku, cita-citaku,
siapa lagi yang akan membela aku, sedangkan ayah yang paling menyayangi aku sudah pergi
lebih dulu, karena sakit. Mas kamto memang sangat sayang padaku, tetapi ia juga tidak
berani membela aku, semua sekarang ibu yang mengendalikan semua.
Aku menyadari, ibuku adalah wanita kuat, sejak ayah meninggal ia banting tulang
mengembangkan rumah makan ayah seorang diri. Begitu tegar dan kuat ibuku sebagai
perempuan, tetapi kenapa begitu tega merampas cita-citaku menjadi seorang pengacara. Ah
seandainya ayah masih hidup pasti tidak akan membiarkan ini terjadi, tetapi belum tentu juga,
sebab Pak de Karto adalah sahabat ayah, bisa jadi penjodohan ini sudah di rencanakan sejak
dulu.
Senyumnya matahari menembus jendela kamar, semalam ketiduran, lupa menutup
korden, untung hari minggu, aku tidak perlu bangun pagi, aku dengar di ruang makan Mas
Kamto ribut dengan Adit, pasti rebutan makanan, kalau tidak mas Kamto menggoda Adit.
Aku masih malas keluar, kepala pusing ingat masalah semalam.
Pintu terbuka pelan, aku pura-pura tidak tahu, “Nasti, sudah pagi, ayuk sarapan itu
kakak dan adikmu sudah menunggu, masmu Kamto mau ajak kita jalan-jalan, dia habis dapat
rejeki.” Ujar Ibu sambil pelangkah pelan mendekati tempat tidurku.
“Iya bu, sebentar lagi aku pasti keluar.” Jawabku pelan, tanpa menoleh, hatiku masih
berontak, meski tidak tega melihat ibu.
Aku bercermin, melihat wajahku kian layu. Aku rapikan rambutku kian kusam, poles
bedak tipis, ambil tas belel yang tergeletak di atas kasur, lalu beranjak keluar kamar.
“Ibu… atur saja pernikahan itu, aku keluar,” ucapku pada ibu sedang duduk bersama
kakakku du meja makan, lalu aku pamit keluar tinggalkan mereka, sempat aku lirik, semua
tampak kaget, tapi sudahlah.
Langkah kaki kupercepat menelusurui sepanjang jalan di sekitar desa. Aku buang rasa
ragu, aku hanya membayangkan kebahagian yang kian semu.
******
“Kringg…kringggg…!”bunyi telepon membuyarkan lamunan.
“Weeiiii…babu bodoh… cepak balik kamu, keluyuran terus saja.”teriak dari seberang
telepon, siapa lagi kalau bukan kakek.
“Iya, aku kembali.” Jawabku santai lalu beranjak masuk lobby building menunggu
lift.
Entah cacian apa lagi akan terucap nanti, keluar ya dia yang menyuruh, tetapi
sekarang menuduh aku keluyuran. Kalau bukan seorang kakek, mulutkua pasti sudah gancor
sampai berbusa, tiap hari kerjaanya Cuma maki-maki dan Tarik-tarik kursi.
Sampai di lantai 12A pintu terbuka, tampak dua polisi berseragam mencari sesuatu di
rumah, “Ulah apa lagi bandot tua ini,”makiku dalam hati
“Hello.. cece kami datang ke sini karena di telepon oleh kakek, dia kehilangan
barang.” Penjelasan salah satu polisi yang lebih tua.
Mulut terasa terkunci, pandanganku kian buram, melihat barang-barang berantakan,
bahkan seisi lemariku pada keluar, belum lagi barang sensitifku pun berpindah tempat,
bagaimana reaksi wajahku di depan pak polisi cakep-cakep itu, pasti pipiku merah delima.
“Maaf Pak Polisi, kakek kehilangan barang apa?” tanyaku pada polisi yang lebih tua.
Kedua polisi itu tersenyum ragu. Wajahnya yang cakep tidak bisa menyembunyikan
rasa geli, sehingga membuatku semakin gemes-gemes penasaran dan bingung.
“Celana kolor kakek hilang,” jawab polisi itu sambil tersenyum malu.
“what….! Cuma celana kolor kamarku jadi berantakan, Oh my good !” celetukku
tanpa sadar kalau masih ada polisi.
Aku langsung lari ke dapur, langsung aku minum sebotol air putih dengan rakus,
seperti setahun tidak melihat air. Tepat di belakangku dua polisi menatapku dengan heran.
Tanganku kueremas kuat, antara ingin terika dan marah, tetapi segera aku ambil nafas dalam-
dalam, lalu aku hembuskan pelan-pelan.
“Jadi kakek mengadukan aku ke polisi atas tuduhan mencuri celana kolor kakek?
Oh.. maaf pak polisi, apakah ada bukti, atau mungkin saat tadi mengeluarkan semua
isi lemari aku telah ketemu celana kolor itu?”
“Nasti…kembalikan celana itu, tidak usah pembelaan.. cepat kembalikan, itu celana
ajaib!” teriak kakek sambil menangis seperti anak kecil.
Sehingga kedua polisi tersenyum berusaha merajuk si kakek, sedangkan aku antara
marah dan gemes hingga membuat semakin jengkel.
“Kakek… lihat ini..!” ucapku pada kakek, dengan tanganku memgang hanphone layer
aku hadapkan ke kakek dan kedua polisi itu serempak.
Tampak kakek mengambil celana kolor dia dari dalam lemari lalu di gantungkan pada
hanger, kemudian di gantungkan di luer jendela kamar dia. Video aku ambil tadi pagi sekitar
pukul lima, karena penasaran dengan tingkah laku kakek yang tidak masuk akal.
“Kakekk…ini apa?” tanya kedua polisi secara serempak, sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
“Celana kolor… kini kau sebagai peran utama drama kakek pagi ini, hingga
korbannya dua polisi yang cakep.” Ujarku.
Em sai kem tai sing, ngo deng to, akong = Tidak usah bicara keras, saya dengar Kakek.
Tidak ada komentar